KEMAMPUAN ADAPTIF

Oleh : Aswandi

2. GAMBAR TEMA UTK FB copy

JUTAAN tahun yang lalu di bagian barat Colorado terdapat sebuah rawa yang dihuni oleh bermacam-macam jenis mahluk hidup, diantaranya Dinosaurus dan Kecoa.

Pada suatu hari rawa tersebut mengering, Dinosaurus menjadi punah. Dinosaurus yang kononnya binatang raksasa yang maha hebat ternyata hanya mampu hidup di rawa. Akan tetapi kepunahan Dinosaurus tidak diikuti oleh kematian si Kecoa, hingga sekarang ini masih hidup. Keberhasilan si Kecoa bertahan hidup karena kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan.

Asumsi tersebut dipertegas oleh Charles Darwin, penulis buku berjudul “Space Human”, ia menyatakan bahwa,”keberadaan dan keberlanjutan hidup manusia tidak ditentukan dari power atau kekuatan yang dimilikinya, melainkan ditentukan dari kemampuannya beradaptasi terhadap setiap perubahan yang terjadi”.

Kehidupan saat ini dan di masa yang akan datang menghadapi sebuah fenomena, “the main is no longer the main”, maknanya adalah apa yang selama ini diyakini menjadi kekuatan, di masa sekarang dan di masa depan tidak lagi menjadi kekuatan, boleh jadi menjadi faktor kelemahan. Faktanya, surat kabar tidak bisa lagi hidup dari penjualan koran dan iklan, airlines tidak bisa lagi mengandalkan penjualan tiket, pelabuhan tidak bisa lagi mengandalkan ongkos tunda dan pandu, telekomunikasi tidak bisa lagi mengandalkan voice dan data, peternak besar tidak bisa lagi mengandalkan ayam dan sapi, dikutip dari Renald Kasali (2019) dalam buku “M#O”. Penulis tambahkan, kekuatan sebuah perguruan tinggi tidak bisa lagi diukur dari jumlah mahasiswa.

Dunia tengah menyaksikan teknik baru dalam pengobatan yang kelak akan mengubah wajah rumah sakit, perusahaan asuransi, dan profesi medis lainnya. Munculnya telemedika dan wearable mengubah cara dan model bisnis layanan kesehatan. Klinik specialis yang hadir sedekat mungkin dengan pasien melahirkan jasa kesehatan baru yang berkualitas dengan harga yang semakin murah. Suatu hari nanti, pemimpin dan pemilik klinik bukan lagi dokter, melainkan para ahli IT (Infornation Technology), dikutip dari Renald Kasali (2017) dalam bukunya “Disruption”.

Dimana-mana, masalahnya adalah sama, yakni kita masih terbelenggu (tersandra) oleh pola pikir (mindset) lama sehingga sulit menerima fakta dan cara baru. Sudah saatnya kita mau dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi, jika tetap ingin bertahan hidup.

Kemampuan beradaptasi (adaptability) yang dimaksud, is meet the demands of changed environment”.

Robert Ornstein dan Paul Erlich dalam bukunya “New World New Mind” menyatakan “Seberapapun banyaknya ilmu pengetahuan yang kau ajarkan akan segera menjadi usang. Oleh karena itu kemampuan beradaptasi (adaptability) terhadap perubahan yang terjadi harus menjadi inti dari cara mengajar di era baru sekarang ini.

Para ahli sependapat bahwa, kemampuan beradaptasi terhadap setiap perubahan yang terjadi adalah dampak dari proses pembelajaran efektif yang dialaminya, demikian sebaliknya ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan akibat dari kesalahan pembelajaran yang dialaminya.

John C. Maxwell (2013) dalam bukunya “Sometimes You Win, Sometime You Lose” menjelaskan beberapa prinsip pembelajaran adaptif, yakni: (1) The Spirit of Learning is Humility; (2) This Foundation of Learning is Reality; (3) The First Step of Learning is Responsibility; (4) The Focus of Lerning is Improvement; (5) The Motivation of Learning is Hope; (6) The Pathway of Learning is Teachability; (7) The Catalyst of Learning is Adversity; (8) Opportunities for Learning is Problems; (9) The Prespective of Learning is Bad Experiences. Aristoteless, “The Roots of Education is Bitter, but the fruit is Sweet”; (10) The Price of Learning is Change; and (11) The Value (Nilai) of Learning is Maturity.

Secara singkat prinsip-prinsip pembelajaran adaptif penulis jelaskan berikut:

  1. The Spirit of Learning ia Humility, maknanya adalah pembelajaran dengan rendah hati, bukan dengan keangkuhan dan kesombongan. Pembelajaran dalam sprit kesombongan hanya berbuah atau melahirkan generasi lemah. Hugh Prather mengatakan, “Ketika saya mau mendengarkan kesalahan saya, berarti saya telah tumbuh, Ongkos termurah dari pembelajaran bermakna itu adalah mau belajar dari kesalahan diri sendiri;
  2. The Foundation of Learning is Reality, maknanya adalah pondasi pembelajaran bermakna terkait pemahaman sibelajar tentang realitas,

Harun Yahya (2002) dalam bukunya “Ever Thought about The Truth”, menyimpulkan bahwa dunia atau realitas yang kita ketahui dan pahami sebenarnya adalah dunia di dalam pikiran kita dimana ia didesain, diberi suara dan warna atau dengan kata lain diciptakan.

Stephen Hawking (2010) dalam bukunya ”The Grand Design” mengatakan bahwa ”Tiada konsep realitas yang independen dari gambaran atau teori yang ada dalam pikiran atau persepsi kita”. John Kehoe (2012) dalam bukunya ”Mind Power» menyatakan bahwa pikiran menciptakan realitas. Segala peristiwa dipengaruhi dari apa yang kita bayangkan, kita visualisasikan, kita hasratkan, kita inginkan atau kita takutkan, serta mengapa dan bagaimana gambar yang ditetapkan dalam pikiran bisa dibuat menjadi kenyataan.

  1. The First Step of Learning is Responsibility. Thomas Lickona (2012) dalam bukunya “Educating for Character” mengemukan 2 (dua) nilai utama sebagai dasar nilai universal yang harus diajarkan dari sejak dini, yakni: sikap hormat dan bertanggung jawab (responsibility).
  2. The Catalyst for Learning is Adversity and Opportunities for Learning is Problems, maknanya adalah katalisator pembelajaran adalah rasa sulit yang memerlukan perjuangan dan pengorbanan untuk mencapainya. Aristoteles mengatakan, “The roots of education is bitter”, artinya akar pendidikan terbangun dari rasa pedih, sementara pendidikan yang berangkat dari pemanjaan (spoil) anak didik hanya akan menimbulkan kesengsaran, kehilangan rasa hormat dan tanggung jawab.

John Gray; “Semua kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh”. Paul J. Meyer, berpesan; “90% dari mereka yang gagal sebenarnya belum kalah. Mereka hanya menyerah saja”. Yang penting bukanlah apakah anda terjatuh, melainkan apakah anda bangun kembali setelah terjatuh. Oleh karena itu orang bijak berkata, “keberhasilan terbesar dalam hidup adalah dapat bangkit kembali dari sebuah kegagalan”.

Paul G. Stoltz (2003) dalam bukunya “Adversity Quotient” menjelaskan dimensi kecerdasan menghadapi masalah adalah; (a) Self Control; (b) Origin and Ownership; (c) Reach; and (d) Endurance.

Memperbaiki Adversity Quotient (AQ); (a) Listen atau mendengarkan respons terhadap kesulitan; (b) Explore atau jelajahi asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (c) Analyze atau analisislah bukti-buktinya; dan (d) Do atau lakukan sesuatu yang sudah direncanakan.

Scott Peck (1997) dalam bukunya ”The Roadless Traveled” mengatakan; ”Kehidupan itu sulit adalah sebuah kebenaran yang paling hebat. Bila kita memahaminya, kita makin mengenalnya, dan setelah itu kita menerimanya, maka kehidupan kita tidak sulit lagi atau ketika kesulitan telah diterima, maka kehidupan yang sulit tersebut tidak menjadi masalah lagi.

  1. The Price of Learning is Change, maknanya adalah harga (price) dari pembelajaran adalah perubahan, tentu tidak ada makna sebuah pembelajaran tanpa membawa kemajuan.

Michael V. Pantalon (2013) dalam bukunya “Instant Influence” menjelaskan bahwa sebuah perubahan sangat ditentukan dari jawaban atas pertanyaan “Mengapa (Why)”.

Viktor Frankl menyatakan hal yang sama, yakni, “Apabila Anda meminta orang lain tersenyum, maka mereka harus memahami alasan mengapa harus tersenyum”. Seorang pakar perubahan lainnya, Michael Fullan, menambahkan selain jawaban terhadap pertanyaan “Why“, keberhasilan perubahan ditentukan oleh jawaban kata “How” atau bagaimana yang berarti proses perubahan dan kata “What” yang berkenaan dengan faktor perubahan.

Dari pendapat pakar perubahan tersebut, semakin jelas bahwa keberhasilan melakukan perubahan sangat ditentukan dari jawaban atas 3 (tiga) pertanyaan, yakni: mengapa (why), bagaimana (how) dan faktor apa (what).

Dan, the prespective of Learning is bad experiences and the value (nilai) of learning is maturity, maknanya nilai sejati dari pembelajaran adalah kematangan (Penulis, Dosen FKIP UNTAN).

Tinggalkan komentar