COVID-19 Membawa Masa Depan Berkemajuan

COVID-19 Membawa Masa Depan Berkemajuan

Oleh: Aswandi

 

 COVID 19 membawa masa depan berkemajuan hanyalah sebuah harapan. Kenyataanya justru sebaliknya, wabah COVID 19 ini menimbulkan penderitaan hingga kematian. Tadinya, penulis berharap wabah COVID 19 ini mampu membangunkan kesadaran kolektif masyarakat untuk bertransformasi agar terjadi percepatan dan lompatan perubahan mengingat status negeri ini belum mengalami perubahan dari “Negara Sedang Berkembang” sebagai dampak dari masih lemahnya karakter bangsa ini dan pembelajaran dari Allah SWT melalui wabah COVID 19 ini diharapkan memperkuat karakter bangsa yang sangat lemah ini.

Masa depan berkemajuan adalah sebuah tema yang kembali dipopulerkan oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah. Tema tersebut memiliki banyak dimensi, yakni: (1) kemajuan dalam semangat, alam pikir, perilaku dan orientasi ke masa depan; (2) berkemajuan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik dalam kehidupan material dan spiritual; dan (3) berkemajuan untuk menjadi unggul di berbagai bidang dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Bagi warga Muhammadiyah hal ini mudah dipahami, sejarah mencatat diawal peradaban bangsa-bangsa di dunia ini, justru Islam terbukti telah berkemajuan mendahului zamannya, dan tidak sedikit bangsa-bangsa di dunia ini belajar berkemajuan kepada dunia Islam.

Akibat dari pemahaman dan gerakan Islam selama ini yang seringkali membawa Islam terjebak ke jalan yang sempit dan buntu, maka dunia Islam secara perlahan-lahan namun pasti mengalami kemunduran, kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi) dan peluruhan (distorsi) dalam berbagai bidang kehidupan.

Bagi penulis, ada atau tidak ada wabah COVID 19, jika ingin tetap bertahan hidup di era baru sekarang dan di masa yang akan datang, harus siap mengalami transformasi atau perubahan, misalnya di dunia pendidikan, antara lain: (1) siap menerima terjadinya pergeseran paradigma pembelajaran dari behavioristik menjadi paradigma pembelajaran konstruktivistik. Merdeka belajar yang merupakan satu bentuk manifestasi paradigma konstruktivistik perlu mendapat dukungan; dan (2) proses pembelajaran yang semulanya konvensional mengalami perubahan bermuatan teknologi informasi (digital) secepatnya dapat diwujudkan. Jika hari ini, ditemukan belajar berbasis teknologi (daring) belum berjalan efektif dapat dipahami karena selama ini kita belum mempersiapkan peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan untuk melaksanakaan proses pembelajaran berbasis teknologi tersebut.

Di era baru ini, digitalisasi pendidikan, khususnya pembelajaran adalah sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari lagi. Jika kita menolak kenyataan ini, penulis khawatir justru kita akan tergilas oleh zaman.

Namun harus diingat, efektivitas digitalisasi pendidikan dan pembelajaran harus ditopang empat pilar utama digital, yakni: (1) digital ethic; (2) digital safety; (3) digital skill; and (4) digital culture. Jika empat pilar digital tersebut rapuh atau tidak kokoh, maka dapat dipastikan kita akan menjadi korban digitalisasi pendidikan dan pembelajaran sebagaimana terjadi sekarang ini. Memperkuat pilar digital bersamaan memasuki era digitalisasi pendidikan dan pembelajaran wajib dilaksanakan.

Dari pengalaman melaksanakan pembelajaran di masa COVID 19 ditemukan beberapa hal positif, antara lain: (1) terjadi peningkatan literasi teknologi informasi (digital) masyarakat, (2) terjadi perubahan perilaku belajar siswa dan mengajar guru serta inovasi dan ketrampilan pembelajaran baru lainnya, (3) tumbuh dan berkembang kesadaran dan tanggung jawab orang tua dalam mendampingi dan mendidik anaknya, (4) bertambahnya pemahaman kita bahwa faktor sosial dan psikologi sangat penting dalam proses pendidikan khususnya dalam proses pembelajaran; (5) lahirnya kebiasaan baru dalam pola hidup bersih dan sehat dimana kita sudah merasa sangat enjoy menggunakan masker, lebih berhati-hati ketika bersin/batuk, terasa ada yang kurang jika belum mencuci tangan dengan sabun di air mengalir; (6) perilaku berdiplin mulai tumbuh di masyarakat; dan (7) kesadaran social diantara kita terbangunkan. Beberapa fakta penulis kutip kembali berikut ini: Steven Indra Wibowo, seorang mu’allaf yang menjual semua rumahnya, semua kendaraan dan motor yang dimilikinya untuk membantu tenaga medis melawan wabah COVID 19. Kemudian setelah semua kekayaannya digunakan untuk membantu sesama, Steven dan keluarganya siap tinggal di rumah kontrakan. Ketika ditanya mengapa ia dan keluarganya mau berkurban sedemikian besarnya. Ia menjawab, “Inilah kesempatan baik bagi keluarga kami untuk mengembalikan seluruh nikmat yang dipinjamkan oleh Allah SWT, kapan lagi?, kami tidak mau kehilangan momentum yang baik ini untuk menyatakan syukur kepadaNya”. Junaedi bin Akim seorang penggali kuburan selama 15 jam setiap harinya menggali kuburan korban COVID 19, Dr. dr. Erlina Burhan, MSc, SpK seorang dokter specialis Pulmonologi dan Kedokteran Paru yang bahu membahu bangkit melawan pandami, professor Kuwat Triyana seorang peneliti Universitas Gajah Mada yang berusaha melawan pandemik dengan Genose dan Nurmaya seorang pedagang tanaman hias yang berbagi makanan di masa sulit kepada ribuan penduduk”, dikuti dari Republika, 5 April 2021. Terakhir, rumor keluarga Akidi Tio yang akan menyumbangkan uang sejumlah Rp. 2 triliun untuk penanganan COVID 19. Semoga kecerdasan social mereka memiliki pengaruh terhadap kebiasaan baru masyarakat kita.  

Pembelajaran dari Allah SWT melalui wabah COVID 19 ini diharapkan mampu menguatkan karakter dan mencerdaskan kita untuk mampu beradaptasi terhadap setiap perubahan yang terjadi demi kemajuan dan kebahagiaan bersama.

Penelitian membuktikan, “Penanganan COVID 19 tidak cukup hanya bergantung pada upaya kesehatan, seperti vaksinasi dan pengobatan. 99% resiko penularan dapat dicegah melalui perilaku atau kebiasaan (disiplin) masyarakat melaksanakan protocol kesehatan”, dikutip dari Kompas 29 Desember 2020.

Rahmi Dianty, puteri penulis yang saat ini sedang mengikuti program PhD di Osaka University Jepang menceritakan hal yang sama. Di tempat mereka tinggal, sekalipun masyarakat tidak divaksin, tidak seorangpun masyarakat tertular wabah COVID 19. Namun masyarakat Jepang disiplin mengikuti protocol kesehatan telah menjadi karakternya.

Fakta di atas, cukup menjadi bukti bahwa karakter atau perilaku berdisiplin mampu mencegah wabah virus COVID 19 dan karakter disiplin tersebut sangat diperlukan bagi masa depan berkemajuan.

Sementara yang kita amati, bahwa masyarakat kita kurang berdisiplin mematuhi protocol kesehatan. Tidak lahu lagi, jika nanti setelah wadah COVID 19 dinyatakan landai (zona hijau), boleh jadi semua melepas maskernya, kembali berkerumun tanpa peduli jarak dan lupa cuci tangan. Apa yang digaung-gaungkan untuk beradaptasi pada kebiasaan baru hanyalah sebuah retorika pemanis bibir semata. Jika kebiasaan lama terulang kembali, penulis menjadi tidak yakin wabah COVID 19 yang sangat menyakitkan ini mampu membawa masa depan berkemajuan. Wabah yang mana lagi yang engkau inginkan? (Penulis, Dosen FKP UNTAN).

Tinggalkan komentar