Mengenang Satu Tahun Wafatnya Malik Fadjar
Oleh: Aswandi
SELASA, 7 September 2021 adalah setahun wafatnya bapak Prof. Malik Fadjar bapak Reformasi Pendidikan Indonesia. Beliau adalah seorang guru besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (1983-2000), Menteri Agama (1998-1999, Menteri Pendidikan Nasional (2001-204) dan anggota Wantimpres (2014-2019).
Selama hidupnya, sejak 1990 hingga tahun 2019, penulis berinteraksi dengan beliau dan banyak pelajaran bermakna yang belum diketahui banyak orang beliau ajarkan kepada penulis. Oleh karena itu, empat puluh hari wafat beliau penulis melaunching sebuah buku berjudul “MALIK FADJAR: The Untold Stories”.
Pada opini kali ini, penulis menyampaikan beberapa cuplikan pemikiran beliau, khususnya di bidang pendidikan yang barang kali masih relevan hingga saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut.
Mundur atau tidak maju-majunya perguruan tinggi adalah dampak dari diterapkannya manajemen bergaya keormasan. Transformasi manajemen harus berubah menjadi manajemen professional, khusus bagi perguruan tinggi Islam berusaha menghentikan dikotomi pendidikan melalui repositioning sistem kelembagaan pendidikan. Beliau tidak bosan-bosannya menyuarakan stigma dikotomi dalam pemikiran dan penyelengaraan pendidikan yang selama ini diyakini menjadi sumber krisis atau faktor`penghambar kemajuan pendidikan Islam di seluruh dunia.
Ketika menjabat Mendikbud, Malik Fadjar berperan penting dalam reformasi pendidikan nasional, dianatarnya: (1) peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan pendidik yang seagama”; (2) mengintegrasikan lembaga pendidikan madrasah ke dalam pendidikan nasional sehingga tidak ada lagi dikotomi pendidikan sekolah dan madrasah: daan (3) penguatan pendidikan keagamaan. Eksistensi pendidikan keagamaan termasuk pesantren semakin kuat setelah diperkuat.
Berkali-kali beliau sampaikan kepada penulis agar “Janganlah membawa Islam ke gang-gang sempit dan jalan buntu”
Haedar Nasir ketua Umum Muhammadiyah mengenang beliau seorang tokoh yang selalu “Sikap inklusif terhadap siapa saja, tidak pernah membeda-bedakan ras, suku, golongan, dan agama menjadi satu karakterik pribadi beliau”.
Dalam reformasi pendidikan beliau berprinsip, “Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit. Baginya lembaga pendidikan jangan dibelenggu urusan birokrasi dan administrasi, pendidikan tidak akan maju selama terbelenggu”.
Penulis memiliki catatan lepas saat berinterkasi dengan beliau
Ketika melantik Prof. Asniar Subagio menjadi rektor UNTAN di Auditorium. dilanjutkan kuliah umum di rektorat lantai 3, namun sebelum kuliah umum dimulai, beliau membincang-bincang dengan pimpinan universitas dan para undangan di ruang kerja rektor. Dalam perjalanan pulang menuju Bandara Supadio, penulis duduk di samping beliau dan beliau bercerita kepada penulis, menurutnya “Ruang rektor UNTAN terlalu mewah. Saya belum sempat berkunjung ke ruang kuliah di UNTAN, seraya bertanya, Apakah ruang kuliah mewah juga pak Aswandi?”. Waktu itu saya tidak menjawab, saya alihkan pembicaraan lain, tapi beliau mengerti sikap saya.
Selain itu, pada saat beliau menyampaikan materi kuliah umum, ada terdengar bunyi suara handhope peserta. Beliau sejenak berhenti menyampaikan kuliahnya, dan memberikan nasehat agar handpone dimatikan atau disilent jika ada seseorang sedang berbicara. Ini persoalan etika, sangat sederhana namun dampaknya kurang baik, harus berani memulainya dari diri sendiri sebelum Anda kehilangan hak moral untuk menasehati orang lain agar tidak melanggar etika”.
Dari penelitian yang beliau lakukan, disimpulkan bahwa telah terjadi 3 (tiga) pergeseran orientasi orang tua dalam melanjutkaan studi bagi anak-anaknya, yakni: (1) orientasi nilai/afiliasi keyakinan atau keagamaan; (2) orientasi status; dan (3) orientasi masa depan.
Belum lama dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, penulis menemui beliau di kantornya membicarakan banyak hal tentang pendidikan. Beliau mengatakan, bagaimana mungkin kita membangun mutu pendidikan tanpa memiliki data cukup, akurat dan dapat dipercaya.
Pentingnya efisiensi pengelolaan institusi seringkali beliau sampaikan kepada penulis. Keberlanjutan perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sangat ditentukan sejauhmana prinsip efisensi tersebut dilaksankan, jika tidak, maka tidak ada jaminan institusi akan mati. Diantara wujudnya adalah jumlah sumber daya manusia, fasilitas, baik di tingkat uniersitas, fakultas dan unit terkecil sekalipun harus dihitung dengan cermat sesuai dengan keperluannya. Dalam rangka gerakan efisiensi, beliau melakukan reposioning sistem kelembagaan, menggabungkan beberapa unit menjadi satu.
Beliau menyarankan agar pembukaan program studi harus sesuai dengan kebutuhan pasar. Sewaktu menjabat Mendiknas RI, beliau pernah mewacanakan sebuah isu tentang “buka (on) dan tutup (of) program studi”. Jika diperlukan dibuka, dan jika tidak diperlukan ditutup. Seingat penulis, selain on dan of sebuah program studi, beliau pernah mengatakan sebaiknya program studi diakreditasi oleh masyarakat. Faktanya, ada program studi terakreditasi A, namun kurang peminatnya.
Apa yang beliau lakukan pada saat itu, dilakukan oleh bapak Nadiem Anwar Makarim sekarang ini, program dua emester belajar pada program studi lain. Penulis mencatat banyak kebijakan pendidikan dari bapak Malik fadjar mendahului zamannya, termasuk pendidikan berbasis data.
Inovasi beliau lainnya mengenai keberadan masjid dimana masjid sering kali berdampingan dengan lokasi kuburan, tidak juga salah, barangkali maksudnya baik agar jamaah masjid selalu ingat akan kematiannya.
Waktu itu, beliau mengatakan semestinya tidak selalu demikian, selain mengingat kematian, jamaah masjid harus mengingat kehidupan. Nabi Saw bersabda, “Ingatlah duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan ingatlah akhiratmu seakan-akan kamu mati esok”.
Berdasarkan pemikiran tersebut, masjid kampus dirancang multi fungsi, misalnya Masjid AR. Fahrudin yang berlokasi di Kampus III, dibangun berlantai tiga, masing-masing berfungsi dengan baik, Lantai dasar digunakan untuk usaha perdagangan (super market), lantai II digunakan untuk jasa perkantoran dan balai pertemuan, dan pada lantai III digunakan untuk shalat dan kegiatan keagamaan lainnya.
Keberadaan masjid kampus seperti itu diharapkan mengingat kematian bukan hanya milik jemaah masjid, melainkan milik semua orang, termasuk mereka yang sedang berbelanja di super market, sedang bekerja di kantor dan sedang menghadiri sebuah pertemuan. Agama mengajarkan, “orang pintar itu adalah orang yang selalu ingat kematiannya, baik saat ia duduk, berdiri dan terbaring”.
Masih banyak catatan pemikiran beliau yang tidak dapat disampaikan karena keterbatasan ruang opini ini. Semoga di lain kesempatan dilanjutkan. (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)