Kasih Ibu Sepanjang Masa

Oleh: Aswandi

aswandi

TAK peduli berapa besarnya kesulitan, betapa sirnanya harapan, betapa rumitnya masalah, dan betapa besarnya kesalahan. Kesadaran akan kasih yang dalam dapat menguraikan semuanya. Bila kita dapat mencintai dan mengasihinya dengan tulus ikhlas.”. Sebuah pepatah Arab mengatakan, ”Tidak ada satupun obat yang bisa menyembuhkan sakit hati kecuali keikhlasan”.

Baca lebih lanjut

Meraih Sukses Atas Ridha Ibu

aswandi

Oleh: Aswandi

KETIKA masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah (sederajat Sekolah Dasar) Swasta di suatu desa. Seorang ibu guru bertanya kepada para muridnya mengenai cita-cita kami setelah dewasa nanti. Satu persatu murid menyebutkan cita-citanya. Ada yang ingin menjadi seorang dokter, pilot, polisi, tentara, PNS, artis, guru dan seterusnya, hanya penulis seorang diri yang tidak mengerti atau bingung harus menyebutkan apa cita-cita jika sudah dewasa nanti. Berulang-ulang kali ibu guru meminta penulis untuk menyebutkan cita-cita yang diinginkan, akhirnya penulis katakan, saya “Ingin berbakti kepada kedua orang tua, terutama berbakti kepada ibunda tercinta”. Mendengar jawaban penulis, serentak siswa seisi kelas mentertawakan penulis. Ibu guru mengingatkan agar penulis serius. Dalam pikiran penulis, “Apa yang salah?”. Baca lebih lanjut

Mereka Bukan Pencuri

Oleh: Aswandi

PENCURI adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengambil milik orang lain tanpa seizinnya.

Diasumsikan bahwa perilaku tidak mencuri berpengaruh atau berkorelasi positif terhadap mutu dan kualitas seseorang atau keadaban dan martabat suatu bangsa. Asumsi tersebut dibuktikan oleh beberapa negara/bangsa berkemajuan berikut ini.

Baca lebih lanjut

Aku Berpikir, Aku Menulis

Oleh: Aswandi

aswandi

Stephen Hawking (2010) dalam bukunya ”The Grand Design” mengatakan bahwa ”Tiada konsep realitas yang independen dari gambaran atau teori yang ada dalam pikiran atau persepsi kita”. Pendapat senada disampaikan John Kehoe (2012) dalam bukunya ‘Mind Power’ bahwa pikiran menciptakan realitas.

Fakta membuktikan literasi menulis di dunia Islam berkembang pesat (baca khazanah Islam). Pada saat alat-alat tulis dan referensi masih sangat terbatas, ilmu pengetahuan dan teknologi diberbagai bidang, diantaranya matematika, astronomi, kedokteran dan filsafat ditulis oleh para ilmuan Muslim jauh mendahului zamannya. Kitab-kitab yang mereka tulis berkualitas tinggi dan menjadi rujukan utama (main reference) bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama dan seni hingga saat ini.

Namun sangat disayangkan, di saat teknologi alat tulis dan referensi berlimpah dan dengan sentuhan jari seseorang bisa menulis justru literasi menulis dari waktu ke waktu mengalami kemunduran. Penulis sendiri merasa kesulitan mencari referensi yang akan digunakan sebagai rujukan ketika menulis.

Kondisi menurunnya literasi menulis masyarakat tersebut baik dalam jumlah maupun kualitas segera dicegah sebelum terlambat karena sebuah karya tulis bermutu berfungsi sebagai pintu pembuka dunia. Riset membuktikan, “Maju mundurnya suatu bangsa sangat dipengaruhi kualitas karya tulis (buku) yang dibaca masyarakatnya”, dikutip dari Quraish Syihab (2000) dalam bukunya “Lentera Hati”.

Rene Descartes seorang filosof mengatakan, ”Aku ada karena aku berpikir”.

Asumsi tersebut mengingatkan penulis pada nasihat Ali bin Abi Thalib ra seorang khalifah Ar-Rasyidin dimana ia mengatakan, ‘Ikatlah pikiranmu dengan menuliskannya’. Nasihat yang sama disampaikan Mahatma Gandhi seorang pemimpin sejati dari India, ia mengatakan ‘Perhatikan pikiranmu karena ia akan menjadi kata-katamu’.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa apa yang dituliskan sesungguhnya sama halnya dengan apa yang dipikirkan.

Menjadi sangat beralasan, jika Aristoteles seorang filosof mengatakan ‘Sampaikan (tuliskan) sebuah kebenaran yang diperlukan untuk kebaikan dengan penuh tanggung jawab’.

Dalam berbagai kasus, apa yang dipikirkan seringkali dalam sekejab lupa dan sulit mengingatnya kembali. Agar apa yang dipikirkan tersebut tidak mudah lupa, maka sebaiknya pikiran tersebut ditulis.

Selain itu tidak sedikit orang mengalami kesulitas menuliskan apa-apa saja yang dipikirkannya. Mereka bertanya kepada penulis, apakah ada kiat-kiat tertentu untuk memudahkan menuliskan pikiran?. Penulis menjawab, tentu saja ada pengetahuan tentang menulis tersebut, meskipun tidak seluas taxonomi pengetahuan bidang lainnya.

Pengetahuan teknis bersifat simantik memang diperlukan dalam menulis, namun seseorang tidak harus menulis setelah mengetahuai dan mendalami tuntunan simantik tersebut, biarlah pengetahuan simantik tentang tulis menulis tersebut berkembang sejalan dengan aktivitas menulis. Sebuah nasehat, “Belajar Menulis dengan Menulis” dilakukan secara terus menerus sebagaimana halnya kita belajar berenang dengan berenang. Dan belajarlah menulis kepada penulis.

Menulis sebagai sebuah kebiasaan atau menulis secara terus menerus adalah penting agar ketrampilan menulis berkembang dengan baik. Seorang penulis karena alasan sesuatu dan lain hal berhenti sementara dari aktivitas menulisnya, maka ia akan mengalami kesulitan ketika kembali menulis. Apalagi mereka bukan seorang penulis, tentu lebih sulit lagi memulainya jika kegiatan menulisnya sempat terhenti atau terputus-putus: hari ini menulis, besok tidak, dan seterusnya.

Belajar dari pengalaman, bahwa ketrampilan menulis adalah milik mereka yang selalu berpikir. Apa yang mereka tulis sesungguhnya adalah apa yang mereka pikirkan, baik bersumber dari apa yang dilihat atau dibacanya, apa yang didengarnya maupun apa yang dirasakannya. Dalam banyak kesempatan, penulis mengatakan bahwa menulis berteman akrab dengan berpikir, membaca (melihat) dan mendengar. Sebaliknya, mereka yang sulit menulis disebabkan banyak faktor, antara lain: belum terbiasa menulis, selain pengaruh budaya bertutur yang mendominasi perilaku masyarakat kita, juga akibat dari menulis bukan menjadi sebuah kebutuhan dimana mereka merasa tenang-tenang saja meskipun tidak menulis, jika merekapun menulis hanya sebatas untuk memperoleh angka kumulatif yang akan digunakan untuk kenaikan pangkat dengan harapan gaji meningkat.

Fenomena menulis untuk mendapatkan angka komulatif tersebut sedang menggurita di kalangan para pendidik, baik guru maupun dosen akhir-akhir ini, semoga saja tidak melalaikan tugas utamanya “Mengajar”.

Penulis tidak yakin terhadap mereka yang motivasi menulisnya untuk naik pangkat semata akan menjadi penulis sejati, sekali lagi penulis tidak yakin dan tidak percaya.

Fakta membuktikan, sudah ribuan peserta mengikuti pelatihan menulis dimana penulis terlibat dalam kegiatan pelatihan menulis tersebut, sampai hari ini hanya beberapa orang saja yang menjadi penulis.

Jika ditemui banyak pendidik (guru dan/atau dosen) tidak menulis. Pertanyaannya.”Apa yang ada dalam pikiran mereka?” dan sulit diketahui bidang keahlian atau kepakaran mereka karena pikiran mereka misterus.

Sementara buku best seller (laris terjual), baik skala nasional maupun internasional adalah buku yang ditulis oleh para jurnalistik, pekerja sosial yang sangat serius ketika mempersiapkan sebuah karya bukunya seperti Don Brown penulis buku “Leonardo De Vinci” dan JK. Rawling penulis buku “Herry Forter” yang menulis buku setelah melakukan riset mendalam terhadap buku yang akan ditulisnya dan buku yang ditulis oleh mantan pemimpin dunia seperti Nelson Mandela, Bill Clinton, Jimmy Carter, Barack Obama dimana buku karya mereka menceritakan pengalamannya ketika menjadi seorang pemimpin bukan buku yang ditulis oleh para akademisi semata.

Terhadap fenomena dunia perbukuan saat ini, mestinya para akademisi (guru dan/atau dosen) bertanya atau memetik pelajaran, “Apa sesungguhnya yang sedang dicari oleh para pembaca dari buku yang dibeli dan bacanya?”.

Faktor lainnya, mereka yang mengalami kesulitan menulis adalah tidak terbiasa merekonstruksi pengetahuan atau informasi yang diterimanya dengan menuliskannya sebagai akibat dari pengalaman belajar behavioristik yang mendominasi praktek pembelajaran yang dialaminya dari sejak dini.

Akhirnya penulis menyimpulkan bahwa ketrampilan menulis adalah satu indikator penting dari keprofesionalan berkelanjutan seorang pendidik, baik guru maupun dosen. Pendapat tersebut dibangun atas dasar sebuah asumsi bahwa menulis berteman akrab dengan berpikir kritis, membaca, mengamati, mengeksprimentasi, dan mendengar. Dari sana mereka memperoleh dan mengolah informasi yang sangat bermanfaat dalam memecahkan suatu masalah, khusus masalah dalam tugas pokoknya sebagai pendidik. Semakin banyak informasi dan pengalaman yang diperoleh, direkonstruksi dan dipublikasikannya, maka informasi dan pengalaman tersebut menjadi sumber pengetahuan bermakna bagi dirinya dan bagi orang lain.

Pengembangan keprofesionalan berkelanjutan melalui menulis ini cendrung dilakukan secara mandiri sehingga lebih efektif (tepat sasaran) dan efisien (murah) dalam pengembangan keprofesionalan (professional development) pendidik dan tenaga kependidikan.

Jika kesimpulan tersebut di atas adalah benar, penulis sarankan agar kegiatan menulis guru dan dosen lebih diefektikan. Pemerintah dan institusi terkait harus siap memberikan penghargaan kepada para penulis dan penghargaan terhadap karya tulisnya yang selama ini terabaikan (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)

Si Lemah Mengalahkan Raksasa

Si Lemah Mengalahkan Raksasa

Oleh: Aswandi

aswandi

FENOMENA hari ini, insyaa Allah terus berlanjut di masa-masa yang akan datang, bahwa sedikit itu banyak, yang lemah mengalahkan yang kuat, yang sedikit mengalahkan yang banyak, yang kecil mengalahkan yang besar, dan yang cepat mengalahkan yang lambat. Baca lebih lanjut

Aktualisasi Diri di Saat Pensiun

Aktualisasi Diri di Saat Pensiun

Oleh: Aswandi

PENSIUN adalah bebas tugas yang diberikan kepada aparatur negara, baik sipil maupun TNI-Polri karena berbagai alasan, antara lain: meninggal dunia, melanggar kode etik, memberi pernyataan tidak benar saat pendaftaran atau melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas lima tahun. Adapun batas usia pensiun tergantung profesi dan jabatannya, yakni berkisar 58, 60, 65 dan 70 tahun. Baca lebih lanjut

Pemimpin Perubahan

Pemimpin Perubahan

Oleh: Aswandi

Aswandi_Pemimpin Perubahan

KOTTER (1997) dalam bukunya “Leading Change” mengatakan bahwa “perubahan yang sukses melibatkan antara 70% hingga 90% kepemimpinan. Kurangnya kepemimpinan membuat tidak adanya kekuatan untuk mengatasi berbagai kekacauan dan ketidakpastian di dalam organisasi”. Baca lebih lanjut

Kategori Guru dan Perilaku Supervisor

Kategori Guru dan Perilaku Supervisor

Oleh: Aswandi

SUPERVISI pembelajaran mengalami pergeseran paradigma dari yang semulanya dilakukan secara konvensional oleh seorang penilik dan/atau pengawas sekolah menjadi supervisi collegial dilakukan oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran (instructional leader) dan/atau guru (supervisors are teachers of teachers). Baca lebih lanjut

Rekrutmen Guru P3K Afirmatif

Rekrutmen Guru P3K Afirmatif

Oleh: Aswandi

UU RI No. 20/Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanahkan, “Setiap warga negara memperoleh hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu”.

John Hetty, seorang guru besar pendidikan New Zeland mereview sebanyak 51.000 hasil penelitian untuk mencari apa-apa saja faktor yang mempengaruhi pendidikan bermutu, akhirnya menyimpulkan bahwa 50% pendidikan bermutu ditentukan oleh faktor guru, 45% ditentukan oleh faktor kurikulum, dan 43% ditentukan faktor pengajaran. Baca lebih lanjut

Merubah Pola Pikir

Merubah Pola Pikir

Oleh: Aswandi

JAMES Artur Ray dalam bukunya “The Science of Success” menerangkan bahwa pola pikir (mindset) sebagai segugusan keyakinan, nilai, identitas, eksspektasi, sikap, kebiasaan, opini dan pola pikir tentang diri Anda, orang lain dan hidup”, dikutip dari Andreas Harefa (2010) dalam bukunya “Mindset Therapy”.

          American Heritage Dictionary mendefinisikan pola pikir sebagai, “a fixed mental attitude or disposition that predetermines to person’s responses to and interpretation of situation.

Renald Kasali (2017) dalam bukunya “Disruption”  menyatakan bahwa pola pikir (mindset) adalah baagaimana manusia berpikir yang ditentukan oleh setting yang dibuat sebelum ia berpikir dan bertindak”. Baca lebih lanjut

Lonceng Kematian Pendidikan

Lonceng Kematian Pendidikan

Oleh : Aswandi

PENGERTIAN tentang pendidikan telah disampaikan oleh para ahli (pakar), khususnya pakar pendidikan dan juga terdapat pada peraturan dan perundang-undangan yang pada hakikatnya pendidikan itu adalah memanusiakan manusia, antara lain memberikan kemerdekaan dan kebebasan dalam proses pendidikan dan pembelajaran sebagai wujud dari melaksanakan atau menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).

Baca lebih lanjut

MELAWAN RASA TAKUT

Melawan Rasa Takut

Oleh: Aswandi

Kata “Takut” sering kali dibedakan dari kata “Berani”.

Pribahasa lama sering diucapkan, “Berani karena benar, takut karena salah”. Dalam kehidupan sehari-hari pribahasa tersebut dimana rasa takut karena bersalah ada benarnya. Ditemui banyak orang telah melakukan kesalahan, namun mereka takut mempertanggung jawabkan kesalahan yang telah diperbuatnya. Baca lebih lanjut

MALIK FADJAR “The Untold Stories”

MALIK FADJAR “The Untold Stories”

Penulis : Aswandi

Malik Fadjar AswandiPada saat menjadi rektor UMM, beliau tidak sungkan (malu) untuk digonceng menggunakan sepeda motor Supra milik penulis dan berkunjung ke rumah penulis di Kelurahan Bareng, Kota Malang. Baca lebih lanjut

Mengenang Satu Tahun Wafatnya Malik Fadjar

Mengenang Satu Tahun Wafatnya Malik Fadjar

Oleh: Aswandi

 

Malik Fadjar AswandiSELASA, 7 September 2021 adalah setahun wafatnya bapak Prof. Malik Fadjar bapak Reformasi Pendidikan Indonesia. Beliau adalah seorang guru besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (1983-2000), Menteri Agama (1998-1999, Menteri Pendidikan Nasional (2001-204) dan anggota Wantimpres (2014-2019).

Selama hidupnya, sejak 1990 hingga tahun 2019, penulis berinteraksi dengan beliau dan banyak pelajaran bermakna yang belum diketahui banyak orang beliau ajarkan kepada penulis. Oleh karena itu, empat puluh hari wafat beliau penulis melaunching sebuah buku berjudul  “MALIK FADJAR: The Untold Stories”.

Pada opini kali ini, penulis menyampaikan beberapa cuplikan pemikiran beliau, khususnya di bidang pendidikan yang barang kali masih relevan hingga saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut.

Mundur atau tidak maju-majunya perguruan tinggi adalah dampak dari diterapkannya manajemen bergaya keormasan. Transformasi manajemen harus berubah menjadi manajemen professional, khusus bagi perguruan tinggi Islam berusaha menghentikan dikotomi pendidikan melalui repositioning sistem kelembagaan pendidikan. Beliau tidak bosan-bosannya menyuarakan stigma dikotomi dalam pemikiran dan penyelengaraan pendidikan yang selama ini diyakini menjadi sumber krisis atau faktor`penghambar kemajuan pendidikan Islam di seluruh dunia.

Ketika menjabat Mendikbud, Malik Fadjar berperan penting dalam reformasi pendidikan nasional, dianatarnya: (1) peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan pendidik yang seagama”; (2) mengintegrasikan lembaga pendidikan madrasah ke dalam pendidikan nasional sehingga tidak ada lagi dikotomi pendidikan sekolah dan madrasah: daan (3) penguatan pendidikan keagamaan. Eksistensi pendidikan keagamaan termasuk pesantren semakin kuat setelah diperkuat.

Berkali-kali beliau sampaikan kepada penulis agar “Janganlah membawa Islam ke gang-gang sempit dan jalan buntu”

Haedar Nasir ketua Umum Muhammadiyah mengenang beliau seorang tokoh yang selalu “Sikap inklusif terhadap siapa saja, tidak pernah membeda-bedakan ras, suku, golongan, dan agama menjadi satu karakterik pribadi beliau”.

Dalam reformasi pendidikan  beliau berprinsip, “Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit. Baginya lembaga pendidikan jangan dibelenggu urusan birokrasi dan administrasi, pendidikan tidak akan maju selama terbelenggu”.

Penulis memiliki catatan lepas saat berinterkasi dengan beliau Baca lebih lanjut

Mengenang Satu Tahun Wafatnya Malik Fadjar

Mengenang Satu Tahun Wafatnya Malik Fadjar

Oleh: Aswandi

 

Malik Fadjar AswandiSELASA, 7 September 2021 adalah setahun wafatnya bapak Prof. Malik Fadjar bapak Reformasi Pendidikan Indonesia. Beliau adalah seorang guru besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, rektor Universitas Muhammadiyah Malang (1983-2000), Menteri Agama (1998-1999, Menteri Pendidikan Nasional (2001-204) dan anggota Wantimpres (2014-2019).

Selama hidupnya, sejak 1990 hingga tahun 2019, penulis berinteraksi dengan beliau dan banyak pelajaran bermakna yang belum diketahui banyak orang beliau ajarkan kepada penulis. Oleh karena itu, empat puluh hari wafat beliau penulis melaunching sebuah buku berjudul  “MALIK FADJAR: The Untold Stories”.

Pada opini kali ini, penulis menyampaikan beberapa cuplikan pemikiran beliau, khususnya di bidang pendidikan yang barang kali masih relevan hingga saat ini, diantaranya adalah sebagai berikut.

Mundur atau tidak maju-majunya perguruan tinggi adalah dampak dari diterapkannya manajemen bergaya keormasan. Transformasi manajemen harus berubah menjadi manajemen professional, khusus bagi perguruan tinggi Islam berusaha menghentikan dikotomi pendidikan melalui repositioning sistem kelembagaan pendidikan. Beliau tidak bosan-bosannya menyuarakan stigma dikotomi dalam pemikiran dan penyelengaraan pendidikan yang selama ini diyakini menjadi sumber krisis atau faktor`penghambar kemajuan pendidikan Islam di seluruh dunia.

       Ketika menjabat Mendikbud, Malik Fadjar berperan penting dalam reformasi pendidikan nasional, dianatarnya: (1) peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan pendidik yang seagama”; (2) mengintegrasikan lembaga pendidikan madrasah ke dalam pendidikan nasional sehingga tidak ada lagi dikotomi pendidikan sekolah dan madrasah: daan (3) penguatan pendidikan keagamaan. Eksistensi pendidikan keagamaan termasuk pesantren semakin kuat setelah diperkuat.

Berkali-kali beliau sampaikan kepada penulis agar “Janganlah membawa Islam ke gang-gang sempit dan jalan buntu”

Haedar Nasir ketua Umum Muhammadiyah mengenang beliau seorang tokoh yang selalu “Sikap inklusif terhadap siapa saja, tidak pernah membeda-bedakan ras, suku, golongan, dan agama menjadi satu karakterik pribadi beliau”.

Dalam reformasi pendidikan  beliau berprinsip, “Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit. Baginya lembaga pendidikan jangan dibelenggu urusan birokrasi dan administrasi, pendidikan tidak akan maju selama terbelenggu”.

Penulis memiliki catatan lepas saat berinterkasi dengan beliau

        Ketika melantik Prof. Asniar Subagio menjadi rektor UNTAN di Auditorium. dilanjutkan kuliah umum di rektorat lantai 3, namun sebelum kuliah umum dimulai, beliau membincang-bincang dengan pimpinan universitas dan para undangan di ruang kerja rektor. Dalam perjalanan pulang menuju Bandara Supadio, penulis duduk di samping beliau dan beliau bercerita kepada penulis, menurutnya “Ruang rektor UNTAN terlalu mewah. Saya belum sempat berkunjung ke ruang kuliah di UNTAN, seraya bertanya, Apakah ruang kuliah mewah juga pak Aswandi?”. Waktu itu saya tidak menjawab, saya alihkan pembicaraan lain, tapi beliau mengerti sikap saya.

Selain itu, pada saat beliau menyampaikan materi kuliah umum, ada terdengar bunyi suara handhope peserta. Beliau sejenak berhenti menyampaikan kuliahnya, dan memberikan nasehat agar handpone dimatikan atau disilent jika ada seseorang sedang berbicara. Ini persoalan etika, sangat sederhana namun dampaknya kurang baik, harus berani memulainya dari diri sendiri sebelum Anda kehilangan hak moral untuk menasehati orang lain agar tidak melanggar etika”.

Dari penelitian yang beliau lakukan, disimpulkan bahwa telah terjadi 3 (tiga) pergeseran orientasi orang tua dalam melanjutkaan studi bagi anak-anaknya, yakni: (1) orientasi nilai/afiliasi keyakinan atau keagamaan; (2) orientasi status; dan (3) orientasi masa depan.

Belum lama dilantik menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, penulis menemui beliau di kantornya membicarakan banyak hal tentang pendidikan. Beliau mengatakan, bagaimana mungkin kita membangun mutu pendidikan tanpa memiliki data cukup, akurat dan dapat dipercaya.

          Pentingnya efisiensi pengelolaan institusi seringkali beliau sampaikan kepada penulis. Keberlanjutan perguruan tinggi, terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sangat ditentukan sejauhmana prinsip efisensi tersebut dilaksankan, jika tidak, maka tidak ada jaminan institusi akan mati. Diantara wujudnya adalah jumlah sumber daya manusia, fasilitas,  baik di tingkat uniersitas, fakultas dan unit terkecil sekalipun harus dihitung dengan cermat sesuai dengan keperluannya. Dalam rangka gerakan efisiensi, beliau melakukan reposioning sistem kelembagaan, menggabungkan beberapa unit menjadi satu.

Beliau menyarankan agar pembukaan program studi harus sesuai dengan kebutuhan pasar. Sewaktu menjabat Mendiknas RI, beliau pernah mewacanakan sebuah isu tentang “buka (on) dan tutup (of) program studi”. Jika diperlukan dibuka, dan jika tidak diperlukan ditutup. Seingat penulis, selain on dan of sebuah program studi, beliau pernah mengatakan sebaiknya program studi diakreditasi oleh masyarakat. Faktanya, ada program studi terakreditasi A, namun kurang peminatnya.

Apa yang beliau lakukan pada saat itu, dilakukan oleh bapak Nadiem Anwar Makarim sekarang ini, program dua emester belajar pada program studi lain. Penulis mencatat banyak kebijakan pendidikan dari bapak Malik fadjar mendahului zamannya, termasuk pendidikan berbasis data.

            Inovasi beliau lainnya mengenai keberadan masjid dimana masjid sering kali berdampingan dengan lokasi kuburan, tidak juga salah, barangkali maksudnya baik agar jamaah masjid selalu ingat akan kematiannya.

Waktu itu, beliau mengatakan semestinya tidak selalu demikian, selain mengingat kematian, jamaah masjid harus mengingat kehidupan. Nabi Saw bersabda, “Ingatlah duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya dan ingatlah akhiratmu seakan-akan kamu mati esok”. 

         Berdasarkan pemikiran tersebut, masjid kampus dirancang multi fungsi, misalnya Masjid AR. Fahrudin yang berlokasi di Kampus III, dibangun berlantai tiga, masing-masing berfungsi dengan baik, Lantai dasar digunakan untuk usaha perdagangan (super market), lantai II digunakan untuk jasa perkantoran dan balai pertemuan, dan pada lantai III digunakan untuk shalat dan kegiatan keagamaan lainnya.

          Keberadaan masjid kampus seperti itu diharapkan mengingat kematian bukan hanya milik jemaah masjid, melainkan milik semua orang, termasuk mereka yang sedang berbelanja di super market, sedang bekerja di kantor dan sedang menghadiri sebuah pertemuan. Agama mengajarkan, “orang pintar itu adalah orang yang selalu ingat kematiannya, baik saat ia duduk, berdiri dan terbaring”.

Masih banyak catatan pemikiran beliau yang tidak dapat disampaikan karena keterbatasan ruang opini ini. Semoga di lain kesempatan dilanjutkan. (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)