KALIMANTAN BARAT BARU

Kalimantan Barat Baru

Oleh: Aswandi

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalimantan Barat secara resmi telah menetapkan hasil perhitungan perolehan suara calon Gubernur/Wakil Gubernur Kalimantan Barat Masa Bakti Tahun 2018-2023. Beberapa lembaga survei dan KPU menginformasikan hasil perhitungan suara tidak jauh berbeda, berarti lembaga survei tidak melakukan kejahatan akademik sebagaimana dituduhkan oleh mereka yang tidak paham etika dan metodologi survei. Hitung cepat lembaga survei dan KPU menyatakan bahwa pasangan calon gubernur/wakil gubernur Kalimantan Barat bapak Sutarmidji-Ria Norsan memperoleh suara jauh melebihi suara yang diperoleh dua pasang calon gubernur lainnya.

Di saat kualitas pilkada dan partisipasi pemilih meningkat, pesta demokrasi berjalan damai, jujur, langsung, terbebas dari rasa takut seperti sekarang ini, sebagian besar masyarakat Kalimantan Barat memberi dukungan kepada bapak Sutarmidji-Ria Norsan menjadi gubernur Kalimantan Barat lima tahun ke depan. Besarnya dukungan masyarakat terhadap beliau pertanda besarnya keinginan masyarakat agar provinsi ini mengalami perubahan dan kemajuan secara merata atau berkeadilan. Sudah saatnya, provinisi ini mengalami banyak perubahan atau kemajuan untuk mengejar ketinggalannya selama ini, Jika tidak mengalami perubahan maka provinsi ini akan mengalami kemunduran dan akan sulit untuk bangkit kembali.

Jika kita masih mempercayai pilkada sebagai pintu masuk lahirnya pemimpin efektif yang kuat dan terpecaya, maka KPU wajib mengambil pelajaran bermakna dari pilkada 2018 ini guna peningkatan kualitas pilkada2 berikutnya. Ratusan tahun lalu, Iqbal, seorang pujangga ternama mengingatkan dalam puisinya, ”Berhenti, tiada tempat di jalan ini. Sikap lamban berarti mati. Mereka yang bergerak, merekalah yang maju ke depan. Mereka yang menunggu, sejenak sekalipun pasti tergilas”.

Charles Darwin menegaskan, “Bukan spesies yang paling kuat yang akan tetap bertahan hidup, bukan pula yang paling cerdik, melainkan yang mampu menyesuaikan diri (adaptable) terhadap perubahan yang sedang dan akan terjadi sebagai dampak dari pembelajaran yang dialaminya”.

Ketika calon kepala daerah atau pemimpin pada umumnya menginginkan “Perubahan”, maka yang harus dipahami secara jelas oleh semua adalah makna dari perubahan tersebut. Tugas calon pemimpin atau gubernur baru menjelaskan makna perubahan tersebut sejelas-jelasnya agar semua orang memiliki persepsi yang sama tentang realitas baru tersebut. Dari persamaan persepsi tersebut akan memudahkan tindakan atau kebijakan pembangunan yang akan dilakukan.

Kembali berbicara tentang perubahan, Michael Fullan mengatakan bahwa jika ingin melakukann perubahan, perhatikan setidaknya dua unsur utama, yakni; (1) proses perubahan dan (2) faktor perubahan. Keberhasilan melakukan perubahan terpulang pada efektifitas implementasi kedua unsur tersebut.

Hall dengan model CBAMnya membagi proses atau fase perubahan adalah sebagai berikut; (1) awareness; (2) information; (3) personal; (4) management; (5) consequence; (6) collaboration, and (7) refocusing;

Menurut William Bridge proses perubahan mengikuti sebuah kurva normal, yakni; (1) fase pertama atau fase akhir/pertaubatan; (2) fase transisi; dan (3) fase awal perubahan yang sesungguhnya.

John F. Kotter (1997) dalam bukunya ”Leading Change” mengemukakan 8 (delapan) proses perubahan; (1) menetapkan rasa urgensi; (2) membentuk koalisi pengarah; (3) mengembangkan visi dan strategi; (4) mengkomunikasikan visi perubahan; (5) memberdayakan banyak orang untuk melakukan tindakan; (6) menghasilkan keuntungan jangka pendek; (7) mengkonsolidasikan pencapaian dan menghasilkan lebih banyak perubahan; dan (8) mencanangkan berbagai pendekatan baru dalam kultur organisasi.

Sebelum terjadi perubahan baru, maka terdapat suatu masa atau fase yang sangat menentukan perubahan baru itu terwujud, yakni masa transisi, suatu proses dimana orang keluar dari dunia lama dan masuk ke dunia baru atau dimulai dengan suatu pengakhiran dan diakhiri dengan suatu permulaan.

Permulaan sangat tergantung pada pengakhiran, dengan kata lain permulaan sangat ditentukan oleh kualitas pengakhiran (pertaubatan), setiap pintu keluar adalah pintu masuk ke suatu tempat lain, namun sayangnya banyak orang tidak suka mengakhirinya, karena telah terperangkap dalam “zona kenyamanan”.

William Bridge (2005) dalam bukunya; “Managing Transitions” berkeyakinan bahwa sesungguhnya masalah kita hingga saat ini bukanlah kurang dan rumitnya perubahan itu, melainkan ketidakefektifan mengelola perubahan di masa transisi sehingga menyebabkan perubahan berjalan lambat, bahkan tidak terjadi perubahan.

Anatole France seorang penulis Prancis mengatakan; “Semua perubahan, bahkan yang sangat dinantikan memiliki suasana sedih tersendiri, karena apa yang kita tinggalkan adalah bagian dari kita sendiri, kita harus mati untuk satu kehidupan sebelum kita dapat memasuki kehidupan lainnya”. Tetapi harus diingat; “orang tidak akan menemukan benua baru tanpa membiarkan kehilangan pandangan ke pantai dalam waktu sekian lama”, demikian kata Andre Gige seorang novelis Prancis.

Ketika semua orang ingin berubah, selalu ada diantara mereka yang justru menjadi monster perubahan, yakni segala kekuatan manusia dalam berbagai wujudnya, baik secara individu maupun berkelompok berupaya memperkeruh dan menggagalkan transformasi atau perubahan”, demikian Jeanie Daniel Duck (2001) dalam bukunya “The Change Monster”. Menurut Everet Rogers, disetiap institusi selalu ada setidaknya 16% monsters perubahan. John Kenneth Galbraith, seorang ekonom ternama dari Harvard University menjawab sebuah pertanyaan “Mengapa beberapa peradaban tetap miskin dan bodoh berabad-abad lamanya?”. Jawabannya adalah, “masyarakat miskin dan bodoh yang selalu mengakomodasi kemiskinan dan kebodohan mereka”, dikutip dari Devidson (2005) dalam bukunya “Change Management”.

Kalimantan Barat baru, terutama di masa transisi memerlukan kepemimpinan baru, yakni kepemimpinan yang kuat dan terpecaya, menyadari bahwa pemimpin itu adalah pelayan (servant leadershif) yang mampu berkomunikasi efektif dengan rakyatnya

Jeffrey H. Dyer, Hal B. Gregersen, and Clyton M. Christensen (2016) dalam bukunya “The Innovator’s DNA” menambahkan bahwa kepemimpinan masa depan (kepemimpinan baru) menghadirkan pemimpin inovatif dan kreatif, antara lain bercirikan lima ketrampilan, yakni: associating; questioning, observing, experimenting, and networking. Sementara kepemimpinan kharismatik, menurut Peter F. Drucker (1997) seorang bapak manajemen modern dalam bukunya “The New Realities” kurang efektif atau kurang diperlukan lagi, Ucapan Selamat Disampaikan Kepada Pemimpin Baru Untuk Kalimantan Barat Baru (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)

Tinggalkan komentar