DEKAT, NAMUN JAUH

Dekat, Namun Jauh

Oleh: Aswandi

SUDAH cukup lama, penulis mengamati fenomena, sesuatu yang sangat dekat, namun jauh, maksudnya jauh berbeda.

Dua, tiga atau beberapa orang bersaudara memiliki beberapa kesamaan, diantara: memiliki orang tua (ayah dan ibu) yang sama, lahir dari rahim yang sama, di usia dini memperoleh pengasuhan dan barangkali konsumsi makanan dan minuman tidak jauh berbeda, artinya secara demografis persudaraan diantara mereka sangat dekat, namun setelah lahir, usia menginjak remaja hingga dewasa kepribadian atau karakter mereka jauh berbeda.

Fenomena yang sama, dua desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan negara letaknya berdekatan atau berdampingan. Dua tempat tersebut hanya dibatasi sebuah patok atau papan nama, artinya secara geografis, budaya, iklim, lingkungan dan sebagainya dua wilayah bertetangga tersebut tidak berbeda, namun dua tempat atau wilayah yang berdekatan atau berdampingan tersebut jauh berbeda, yang satu lebih berkemajuan dan lebih sejahtera sementara wilayah tetangganya tetap dalam kemiskinan.

Fakta lain disampaikan oleh Daron Acemoglu dan James A. Robinson (2020) penulis sebuah buku berjudul “Why Nations Fail”, mereka mengatakan bahwa Kota Nogales terbelah oleh bentangan pagar tapal batas, menghadap ke utara terhampar kota Nogales Arizona, pendapatan perkapita rata-rata warganya sangat tinggi, kebanyakan remajanya bersekolah dan lulus jenjang sekolah menengah, penduduknya relatif sehat dan harapan hidup cukup tinggi, penegakan hukum dan keadilan berjalan baik sehingga rakyatnya bebas beraktivitas tanpa merasakan terancam keselamatan jiwanya, demokrasi sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka.

Sementara, menghadap ke selatan terhampar kota Nogales Sonora Meksiko, dua kota tersebut jauh berbeda, banyak remajanya tidak bersekolah, angka kematian bayi sangat tinggi, penegakan hukum dan ketertiban umum sangat mengenaskan, sehari-hari warganya hidup dalam bayang-bayang politisi korup dan pemerintah yang angkuh dan sombong sehingga pelayanan publik payah. Demokrasi tidak standar dan terjadi instabilitas politik yang sangat tinggi, faktanya diantara tahun 1824-11867 (43 tahun), Meksiko diperintah oleh 52 (lima puluh dua) orang presiden, hanya sedikit dari mereka yang mendapat jabatan presiden melalui prosedur yang konstitusional.

Nenek moyang, geografis, budaya dan iklim dua wilayah tersebut adalah sama.

Pertanyaannya adalah faktor apa yang menyebabkan mereka jauh berbeda.

Acemoglu dan Robinson (2020) berusaha keras menjawab pertanyaan tersebut menggunakan teori-teori para ahli yang kemudian dirumuskan melalui tiga hipotesis, yakni: hipotesis geografis, hipotesis kebudayaan dan hipotesis kebodohan.

Hipotesis geografis menyatakan bahwa jurang pemisah negara terkaya dan termiskin di dunia tercipta oleh perbedaan kondisi dan lokasi geografis.

Pendapat lain dikemukakan Kazutoshi Fukumoto (1997) dalam bukunya “Why are Japanese People Diligent, Skillful and Rich?”, ia mengatakan bahwa kemajuan Jepang sangat dipengaruhi oleh hadirnya empat musim yang silih berganti dimana setiap musim memerlukan persyaratan yang berbeda. Pergantian musim tersebut mengajarkan kepada mereka untuk dapat bertahan hidup, mengatasi kesulitan, dan melakukan persiapan untuk musim berikutnya, serta faktor lain yakni sempitnya lahan dan sifat bangsa Jepang yang homogen.

Sejarah menunjukkan bahwa korelasi sederhana antara geogrfis dengan kemakmuran suatu bangsa tidak dapat dijadikan landasan teori yang solit. Hipotesis geografis bukan saja gagal menjelaskan penyebab timbulnya kesenjangan di berbagai belahan bumi, melainkan tidak mampu mengungkapkan atau menjawab pertanyaan mengapa suatu negara yang awalnya tertidur, seperti Jepang dan China akhirnya bangkit menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang fenomental.

Max Weber mengatakan bahwa reformasi Protestan dan etos kerja telah membukan jalan bagi kebangkitan masyarakt industri modern di Erofah Barat, Nurcholish Madjid (1992) dalam artikelnya berjudul “Masalah Etos Kerja di Indonesia dan Kemungkinan Pengembangan dari Sudut Pandangan Ajaran Islam” mengatakan negara industri baru (NIC’s, Newly Industrializing Countries) di sekitar Indonesia, yakni Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura seringkali dirujuk sebagai “little dragons”, maksudnya bahwa NIC’s adalah negara-negara Confusianis (penganut ajaran Kong Hucu dengan ular naga sebagai binatang mitologis dalam sistem kepercayaan mereka. Dengan kata lain, NIC’s diyakini bahwa kemajuan negara-negara tersebut dipengaruhi oleh ajaran Confusianisme, maknanya ajaran Kong Hucu diyakini memiliki relevansi dan mendukung uaha-usaha modernisasi dan pembangunn bangsa industrial. Namun hipotesis kebudayaan tidak lagi semata-mata bertumpu pada agama, melainkan meluas kepada serangkaian keyakinan, tata nilai dan etika lainnya.

Penulis memiliki pengalaman tinggal di Jepang, merasakan langsung tingginya kualitas karakter bangsa Jepang tersebut, dan penulis merasa yakin bahwa kemajuan negara matahari terbit tersebut sangat dipengaruhi oleh tinggnya kualitas kararter dan kebudayaan bangsa Jepang.

Fenomena yang sama, penulis lihat sendiri di China dimana kebudayaan sangat dihargai. Penulis diundang mengunjungi sebuah kawasan kebudayaan yang dulunya adalah kawasan industri di Art Street Beging. Di galeri kebudayaan tersebut tersimpan dengan rapi segala hal yang berkaitan dengan kebudayaan bangsa China dari dulu hingga sekarang. Kejayaan kebudayaan semakin terasa ketika sempat berkunjung ke ke mesium Tera Kota di China. Mao membuka pintu kemajuan China melalui revolusi kebudayaan.

NamunAcemoglu dan Robinson (2019) memiliki hipotesis yang berbeda bahwa tak beda dengan hipotesis geografis sebelumnya%₩, hipotesis kebudayaan juga gagal menjelaskan distribusi kemakmurn di masa kini

Hipotesis kebodohan mengatakan bahwa negara miskin adalah korban kondisi gagal pasar karena para ekonom dan pembuat kebijakan (penguasa) tidak tahu cara memakmurkan dan mengatasi kondisi melarat akibat arah kebijakan yang salah di masa lalu, sebaliknya negara kaya para pemimpinnya bekerja keras membuat kebijakan yang lebih efektif dan berhasil mengatasi kondisi gagal pasar.

Disparitas kaya dan miskin terjadi bukan karena kebodohan pemimpinnya, melainkan lebih disebabkan perbedaan “Tingkat Kontrol Kelembagaan” terhadap para pemimpin dan kalangan elitnya.

Orang beriman meyakini bahwa manusia diciptakan berbeda, Namun ada faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut. Keefektifan proses pembelajaran setiap orang sejak dalam kandungan hingga dewasa sangat mempengaruh kemampuannya beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya, dan kemampuan beradaptasi tersebut menjadi faktor pembeda diantara mereka.

Sedang faktor yang membedakan wilayah berdekatan menurut Kenneth J. Arrow (1972), Gary S. Becker (1992), Peter Diamond (2010) adalah tiga pemenang hadiah Nobel Bidang Ekonomi dan Francis Fukuyama seorang pakar politik adalah hadirnya institusi buatan manusia, bukan kondisi geografis ataupun keyakinan para pendahulu kita, melainkan sistem ekonomi yang tepat dan sistem politik yang terbuka dan bersifat pluralistik.

Menurut Acemoglu dan Robinson (2020), faktor pembeda dua wilayah, Kota Nogales Arizona dan Kota Nogales Sonora Meksiko ternyata sangat sederhana, yang jelas bukan karena faktor geografis, bukan faktor kebudayaan dan faktor kebodohan, melainkan faktor lembaga sosial dan kemasyarakatan yang dimilikinya dua wilayah itu berbeda. Keefektifan interaksi sosial di masyarakat sangat berpengaruh membentuk perilaku dan menghasilkan insentif yang berbeda kepada warganya. Lembaga politik dan lembaga ekonomi mempengaruhi insentif yang diterima warganya. Dampak ikutannya, rakyat mendapat kesempatan mengenyam pendidikan, menabung dan berinvestasi, berinovasi dan mengadopsi teknologi. Aturan main dalam kehidupan masyarakat akan digariskan oleh politik. Semua tergantung pada siapa yang berkuasa dan bagaimana dia menjalankan amanah kekuasaannya. Sintesis dari pendapat tersebut di atas, penulis tegaskan bahwa literasi politik dan ekonomi sangat berpengaruhi terhadap kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, tugas kita selanjutnya adalah membangun kesadaran politik dan ekonomi masyarakat, wujudnya antara lain bertanggung jawab mengontrol perjalanan politik dan ekonomi di negara ini, jangan masa bodoh (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)

Tinggalkan komentar