DISIPLIN MEMAKAI MASKER

Disiplin Memakai Masker

Oleh: Aswandi

SATU upaya mencegah penularan virus korona, protokol kesehatan mewajibkan masyarakat di seluruh dunia, tidak terkecuali di tempat kita masing-masing memakai masker terutama saat berada di luar rumah, dan menghimbau untuk menggunakan masker tersebut saat berada di rumah.

Ditemukan ada sebagian masyarakat, baik saat berada di tempat keramaian, saat mengendarai sepeda motor dan mobil belum menggunakan masker, maka polisi, TNI atau relawan mengingatkannya untuk menggunakan masker, jika mereka tidak memiliki masker, petugas memberikan dan/atau memasangkan langsung masker tersebut kepada mereka yang melanggar protokol kesehatan tersebut.

Mengingat pentingnya memakai masker untuk menyelamatkan jiwa manusia ini, penulis bersama keluarga berinisiatif membeli masker, baik melalui jasa online di Jakarta maupun langsung membeli kepada penjahit lokal di Kota Pontianak dalam jumlah yang banyak, dan setiap hari kami membagikannya kepada masyarakat, terutama mereka yang berada di tempat keramaian, di jalan dan di lampu merah (traffic light).

Alhamdulillah, kita merasa sangat terbantu karena masih ada diantara masyarakat kita yang peduli terhadap kekurangan alat pelindung diri berupa masker ini dimana mereka yang memiliki kesadaran kemanusiaan ini menjahit masker sendiri untuk dibagikan kepada masyarakat, sekalipun harus dijual, mereka menjualnya dengan harga yang terjangkau.

Penulis ingin berbagi pengalaman memberikan masker tersebut, antara lain: (1) kali pertama penulis melihat ada seseorang yang sedang mengaret rumput tidak memakai masker, langsung penulis temui dan serahkan masker kepadanya seraya menanyakan, “Bapak, kenapa tidak memakai masker?”. Terkejutnya penulis mendengar jawabannya, “Untuk apa masker bapak, takut koronakah?, takut matikah?. Penulis tidak putus asa, kembali membujuknya untuk bersedia menerima dan memakai masker yang penulis berikan. Orang tua tersebut, melanjutkan ocehannya dan menasehati penulis, “Bapak sebagai orang beragama, harus percaya bahwa penyakit dan mati itu atas izin Allah SWT, mengapa mesti takut. Akhirnya beliau menolak pemberian masker dari penulis; (2) kejadian lainnya, beberapa orang pengendara sepeda motor tidak menggunakan maskar, penulis hampiri mereka seraya menanyakan kenapa tidak memakai masker?. Dijawab, “Tidak punya masker pak!”. Masker yang sudah saya siapkan, saya serahkan dan mereka ada yang mengambilnya dan ada juga yang menolaknya, namun sayangnya masker yang telah diterimanya tidak langsung dipakai, melainkan disimpannya, digantung di lehernya, dan dimasukkan ke saku celananya, bersikap cuek, merekapun permisi melanjutkan perjalanannya; (3) shalat Jumat dimana jamaahnya melimpah hingga ke luar masjid, umumnya berusia lanjut. Hanya dua orang saja dari jamaah yang banyak itu memakai masker, yakni penulis dan satu jamaah yang duduk di barisan depan. Penulis perhatikan mereka tidak mengindahkan protokol kesehatan saat corona ini sangat dinikmatinya, dan (4) selain itu, banyak diantara mereka yang mendapat masker dari penulis mengucapkan terima kasih dan langsung memakai masker tersebut, Alhamdulillah.

Dari pengalaman membagi masker kepada masyarakat, penulis mendapat banyak pelajaran, diantaranya: perilaku tidak dan kurang disiplin masyarakat masih sangat tinggi sekalipun mereka tidak dijamin bebas dari wabah virus korona yang mematikan itu. Faktanya, penulis ingin menyelamatkan nyawa manusia melalui membagi masker, ternyata tidak semua merespons secara positif. Dalam hati, penulis bertanya, “Apa yang salah dengan masker yang penulis bagikan?”. Barangkali, jika masker yang penulis bagikan disertai uang tunai, barangkali sikap sebagian masyarakat tersebut berbeda. Faktanya, jauh berbeda tingkat kedisiplinan masyarakat ketika petugas dan relawan membagikan sembako, bahkan ada diantara mereka, terutama yag tidak kebagian sembako mengatakan, pemerintah tidak adil, tunggu “Mampus (Mati) Keluarga Kami” baru bekalut. Penulis berusaha untuk bersikap sabar terhadap respons negatif masyarakat, apalagi membagikan masker tersebut didasarkan dari hati yang tulus ikhlas. Jika diterima penulis ucapkan terima kasih, jika tidak diterima, ya sudahlah. Yang penting, semoga semua kita selamat dari wabah virus korona. Amiiin.

Dari pengalaman tersebut, penulis memahami sikap ngeyel dan sedih bapak Sutarmidji selaku gubernur Kalimantan Barat terhadap mereka yang tidak disiplin melawan virus korona ini. Penulis merasakan hal yag sama dan tidak yakin, semua masyarakat berdisiplin mentaati protokol kesehatan lainnya, masih banyak yang cuek dan acuh tak acuh seperti menjaga jarak, cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, dan segera melapor jika merasakan ada gejala. Kita tidak tahu bagaimana kedisiplinan masyarakat melawan virus korona di desa-desa, semoga lebih baik. Sebaiknya pengawasan harus lebih diefektifkan, dan tindakan hukum terhadap mereka yag melanggar ditegakkan.

Sering kali kita lupa bahwa disiplin itu adalah modal bagi keberhasilan dan keselamatan hidup umat manusia. Dan hidup ini sarat dengan disiplin. Siapapun kita, kapan dan dimanapun kita berada, menjalani kehidupan yang bermakna memerlukan disiplin diri.

M. Scott Peck (2009) dalam bukunya “The Road Less Travelled” menyatakan bahwa disiplin merupakan seperangkat peralatan dasar yang kita perlukan untuk mengatasi permasalahan hidup, tanpa disiplin, kita tidak dapat memecahkan dan menyelesaikan masalah apapun. Dengan hanya menerapkan sejumlah disiplin, maka kita hanya bisa memecahkan sebagian permasalahan saja. Kita harus bisa memecahkan semua permasalahan ketika kita mempu berdisiplin secara total. Hal yang membuat hidup menjadi sulit adalah karena proses untuk menghadapi berbagai permasalahan dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan, misalnya memakai masker dirasakan kurang menyenangkan.

Willem Sears (2004) mengatakan, “sebanyak 80% dari disiplin mendorong perilaku yang baik, 15% atau mungkin kurang adalah apa yang dilakukan dengan perilaku buruk.”. Faktanya, akibat tidak disiplin berlalu lintas misalnya, tercatat selama setiap 100 jam di jalan raya di Amerika Serikat, kehilangan lebih banyak anak muda dari pada yang gugur dalam 100 jam pertempuran darat di perang Teluk Persia.

Pepatah Irlandia; “Orang yang hidup tanpa disiplin akan mati dengan tidak terhormat”. Stephen R. Covey mengatakan, “Banyak orang mengira bahwa disiplin adalah tidak adanya kebebasan, pada hal disiplin adalah sumber kebebasan, yakni kebebasan yang terkendali”. Roy L. Smith mengatakan hal yang sama bahwa, “Kebebasan hakiki didapat melalui pengendalian diri, bukan dengan mengekpresikan diri”. James Dobson (2004) dalam bukunya “The New Dare to Dicipline” menjelaskan disiplin sebagai parameter moralitas (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)

Tinggalkan komentar