NALURI SALAH PAHAM

Naluri Salah Paham

Oleh: Aswandi

TUJUAN berbangsa dan bernegara, antara lain mencerdaskan kehidupan. Apa mungkin mencerdaskan kehidupan ini akan terwujud jika salah atau kurang memahami kehidupan itu sendiri?. Menurut penulis, mereka yang salah atau gagal paham tentang kehidupan ini tidak mungkin mampu mencerdaskan dirinya, apalagi mencerdaskan orang lain. Pertanyaannya adalah sudah pahamkah kita terhadap realitas kehidupan ini?, setidaknya sudahkah kita memahami naluri penyebab salah paham itu?.

Paradox, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semestinya mempermudah umat manusia memahami dunianya. Demikian pula untuk tetap bertahan hidup, pemahaman manusia terhadap dunianya merupakan hal yang sangat penting. Namun kenyataannya, di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan era disruptif sekarang ini terbukti manusia salah paham terhadap dunianya, riset membuktikan: (1) kemampuan manusia memahami dunianya jauh lebih rendah dari pada simpanse. Pada tahun 2017, Gapminder bekerjasama dengan Opsos MORI dan Novus menguji 12.000 orang di 14 negara, yakni Australia, Belgia, Kanada, Finlandia, Prancis, Jerman, Hongaria, Jepang, Norwegia, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Inggris dan Amerika Serikat. Mereka diminta untuk menjawab 13 pertanyaan tentang; pendidikan anak perempuan di negara berpendapatan rendah, tingkat pendapatan mayoritas, kemiskinan ekstrim, usia harapan hidup, jumlah anak di masa depan, pertambahan penduduk, bencana alam, dimana orang tinggal, vaksinasi anak, pendidikan perempuan, satwa terancam punah, listrik, dan iklim.

Pertanyaan yang sama diujikan kepada simpanse (sejenis kera). Hasilnya sangat mengejutkan, yakni: hanya 10% manusia menjawab lebih baik dari pada simpanse, dan jawaban manusia 80% lebih buruh dari pada simpanse; (2) fakta berikutnya, ilmuan muda berbakat dan para pemenang Nobel dalam fisiologi dan kedokteran, ketika menjawab pertanyaan tentang vaksinasi anak, elite intelektual terkemuka tersebut meraih nilai lebih buruk (hanya 8% yang menjawab benar) dari pada jejak pendapat umum. Ternyata menjadi orang pintar bukanlah jalan pintas menuju pengetahuan faktual tentang dunia: (3) selama ini demokrasi diyakini sebagai solusi terbaik dalam menjalankan sebuah negara dan pemerintahan, faktanya tidak demikian. Kebanyakan negara mengalami kemajuan ekonomi dan sosial yang dahsyat bukan ketika negara tersebut menjalankan demokrasi, melainkan seluruhnya dalam pemerintahan diktator, sembilan dari sepuluh negara dengan pertumbuhan ekonomi paling cepat dalam tahun 2012-2016 mendapat skor rendah dalam indeks demokrasi”, dikitip dari Hans Rosling dkk (2019) dalam bukunya “Factfulness”.

Barangkali kita mengalami hal yang sama, yakni telah melakukan berbagai kegiatan, menghabiskan tidak sedikit sumber daya (uang, tenaga dan waktu), namun tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan.

Jika itu benar terjadi, berarti ada yang salah dari apa yang dilakukan selama ini. Menurut penulis awal dari kekacauan, kesalahan dan kegagalan (turbulensi) tersebut adalah salah paham memikirkan dan memahami realitas kehidupan yang sesungguhnya.

Boleh jadi salah atau gagal paham tentang realitas kehidupan ini akibat dari kesalahan berpikir kita selama ini atau pikiran kita tersandra oleh dogma-dogma.

Hans Rosling dkk (2019) mengemukakan 10 (sepuluh) naluri yang menjadi faktor utama penyebab umat manusia tidak mampu memahami kehidupannya, yakni naluri terhadap: kesenjangan, negativitas, garis lurus, rasa takut, ukuran, generalisasi, takdir, prespektif tunggal, menyalahkan dan keterdesakan. Sepuluh naluri tersebut, secara singkat penulis jelaskan berikut ini.

Kesenjangan adalah salah paham besar kita selama ini dalam memahami dunia dimana dunia dibelah dua, seperti: “mereka dan kita”, “negara berkembang dan negara maju”. Seringkali peneliti menyederhanakan informasi dengan mencari nilai rata-rata, menyembunyikan sebaran data yang sering kali tumpang tindih dan mengabaikan nilai simpangan baku, dampaknya salah memahami realitas kehidupan.

Negativitas, yakni kecendrungan manusia lebih tertarik dan mengingat kepada hal-hal buruk dari pada hal-hal baik. Ketika keadaan masih buruk, yakinkan diri sendiri bahwa sesuatu dapat membaik, katakan keadaan masih buruk namun sudah membaik. Faktanya ketika ada setitik noda di sudut sempit kertas putih. Ditanyakan kepada semua orang apa yang mereka lihat di kertas putih tersebut, mereka akan mengatakan ada setitik noda, sementara tidak seorangpun mengatakan kertas pulih yang tidak terkena noda jauh lebih luas. pribahasa lama mengatakan, “Semut di seberang lautan kelihatan, sementara gajah di kelopak mata tak kelihatan”.

Garis lurus atau linear menyebabkan kita melihat dunia menjadi sempit, milikilah mental pendaki, ketika ia dihadang suatu rintangan, ia segera mencari alternatif jalan lain, tidak jarang mereka terpaksa menurun dan berbelok arah. Sekarang ini diperlukan berpikir divergen, banyak jalan menuju Roma.

Rasa takut mengganggu kita dengan mendistorsi wawasan dunia kita, ketika kita sedang takut, kita tidak akan melihat dunia dengan jelas. Riset membuktikan hanya tiga persen rasa takut ada pada mereka yangan sukses hidupnya, sementara banyak orang gagal akibat ketakutan. Rosevelt presiden AS, “Musuh besarmu adalah melawan rasa takut yang kamu ciptakan sendiri”. Namun rasa takut yang diperlukan karena berguna jika diarahkan kepada hal-hal yang benar.

Ukuran, dunia ini tidak dapat dipahami tanpa angka, dan dunia ini pula tidak dapat dipahami hanya dengan angka. Hukum Pareto yakni 80/20, artinya yang sedikit mungkin sekali lebih penting dari pada semua yang lain meskipun digabungkan. Faktanya, perubahan besar di bidang apa saja di dunia ini dilakukan oleh sedikit orang. Dalam hidup ini, sering kali kita salah paham bahwa yang besar dan banyak itu kuat, kenyataan tidak selalu demikian.

Generalisasi, semua orang sepanjang waktu melakukan kategorisasi dan generalisasi secara otomatis, sementara generasilasi yang keliru adalah sesuatu yang membuntukan pikiran dari semua pemahaman. Naluri generalisasi sering kali membuat kita berpikir bahwa semua mereka adalah sama, padahal kehidupan ini tidak demikian.

Takdir, ada pandangan bahwa karakteristik bawaan negara, agama dan kebudayaan tidak pernah berubah. Mereka bukan batu cadas, mereka terus menerus mengalami perubahan. Oleh karena itu bersiap-siaplah untuk selalu memperbaharui pengetahuan.

Prespektif tunggal menyatakan bahwa semua masalah mempunyai satu penyebab tunggal. Ada pepatah mengatakan, “Beri anak sebuah palu, maka semuanya dianggap sebagai paku”. Asumsi tersebut harus ditolak. Lebih baik memandang dunia melalui banyak cara yang berbeda. Tidak ada indicator tunggal yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan sebuah bangsa. Lebih baik memandang masalah dari banyak sudut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih akurat dan solusi yang praktis.

Menyalahkan adalah naluri mencari alasan yang jelas dan sederhana tentang mengapa sesuatu yang buruk telah terjadi. Naluri menyalahkan membuat kita membesar-besarkan pentingnya orang atau kelompok tertentu. Naluri mencari kambing hitam merusak kemampun kita dalam mengembangkan pemahaman yang benar, yang berbasis fakta, naluri itu merusak focus kita sewaktu kita terobsesi mencari orang untuk disalahkan. Guna memahami masalah dunia yang signifikan, kita harus melihat lebih dari sekedar menyalahkan seseorang atau sistem. Apabila sungguh ingin mengubah dunia, maka harus memahaminya, naluri suka menyalahkan tidak ada manfaatnya. Untuk mengendalikan naluri menyalahkan, berusahalah untuk tidak mencari kambing hitam. Carilah penyebabnya, bukan penjahatnya.

Keterdesakan membuat berpikir kurang kritis, ingin mengambil aksi bertindak cepat tnpa informasi yang memadai akibaatnya kurang memahami realitas sebenarnya..

Penulis tambahkan, salah paham disebabkan cara berpikir kita tentang kehidupan yang seakan-akan berada di luar kita, faktanya, kita sebenarnya bukan melihat dengan mata, namun dengan pusat penglihatan, dan ini bertentangan dari yang diketahui selama ini. Jadi, otak tak pernah melihat objek itu sendiri, melainkan sinyal-sinyal elektrik dari objek. Definisi dan ilusi kita terhadap realitas sering dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya dan pengakuan orang lain tentang objek tersebut. Demikian pula indera manusia lainnya dalam memahami realitas. Semua objek yang kita lihat, sentuh dan raba, hanyalah sinyal-sinyal yang diproduksi dan diinterprestasi dalam otak kita. Cara kita mempersepsi dunia luar didasari hanya oleh persepsi dan interpretasi otak kita yang unik. Jadi penglihatan tergantung pada siapa yang mempersepsinya, dan objek bukanlah apa yang kita lihat, sentuh dan dengar dari objek itu. Semua sensasi yang datang dari salah satu indera kita bukan bagian dari dunia luar, tetapi terjadi di dalam pikiran kita dimana sensasi itu diciptakan. Dunia yang kita ketahui sebenarnya adalah dunia di dalam pikiran kita dimana ia didesain, diberi suara dan warna atau dengan kata lain diciptakan (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)

Tinggalkan komentar